Sabtu, 22 Desember 2012

KONFLIK PERBATASAN ETHIOPIA DAN ERITREA






KONFLIK PERBATASAN ETHIOPIA DAN ERITREA

PENDAHULUAN
Pada masa Perang Dunia II, wilayah Eritrea diduduki oleh Inggris. Namun, paska Perang Dunia II berakhir, Inggris sebagai Negara yang sedang menduduki Eritrea diminta oleh PBB untuk menyerahkan Eritrea kepada Ethiopia. Ethiopia menerima keputusan PBB tersebut. Tetapi Eritrea tidak sepaham dengan keputusan tersebut, karena Eritrea menganggap keputusan tersebut merugikan dan Ethiopia dianggap sebagai penjajah baru. Sehingga rakyat Eritrea mulai melakukan perlawanan dan pemberontakan sejak tahun 1962 hingga akhirnya merdeka melalui referendum pada tahun 1993.
Sejak itu, baik Eritrea maupun Ethiopia menjadi masing-masing Negara yang merdeka dan berdaulat di kawasan Afrika dengan nama State of Eritrea (Eritrea) dan Federal Democratic Republic of Ethiopia (Ethiopia). Namun, paska kemerdekaan Eritrea tersebut hubungan kedua Negara memburuk baik dari segi ekonomi, diplomatik, kependudukan, maupun dari segi kewilayahan. Bahkan, paska kemerdekaan Eritrea kedua Negara telah membentuk komisi bersama untuk menentukan status resmi dari wilayah-wilayah di perbatasan kedua Negara yang menjadi persengketaan utama. Namun, komisi ini gagal untuk menyelesaikan masalah perbatasan yang disengketakan oleh kedua Negara.
Puncak ketegangan antara kedua Negara terjadi ketika Eritrea dan Ethiopia terlibat dalam perang terbuka yang berlangsung sejak tahun 1998. Perang terbuka tersebut terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan di antara keduanya. Dalam perang terbuka tersebut, masing-masing pihak mengerahkan ratusan ribu tentara dan persenjataan-persenjataannya yang paling canggih. Akibat perang ini kedua Negara kehilangan ratusan ribu nyawa warga negaranya. Hingga akhirnya, perang terbuka antara Eritrea dan Ethiopia tersebut dapat diakhiri pada tahun 2000.
ANALISIS KONFLIK DAN PENYEBANYA
Alasan utama dari konflik yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia adalah karena Ethiopia tidak lagi memiliki perbatasan di sepanjang Laut Merah dan karena itu bergantung terhadap jasa kapal dan perdagangan barang sepanjang Laut Merah, terutama bergantung dengan Eritrea. Karena itulah kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan, khususnya dataran Badme, yang strategis dan bermuara ke Laut Merah sebagai akses transportasi dan perdagangan bagi kedua Negara.
Konflik di antara kedua Negara tersebut merupakan konflik yang bersifat spiral. Konflik di antara kedua Negara tersebut juga termasuk ke dalam kategori interstate war yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital politik. Dari segi geopolitik, kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan yang bernilai strategis bagi kedua Negara, terutama wilayah di dataran Badme. Dari segi kapital politk, perebutan daerah perbatasan tersebut karena daerah perbatasan yang disengketakan bernilai strategis dan menjadi akses langsung menuju Laut Merah sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut Merah inilah yang mereka butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian kedua Negara.
RESOLUSI KONFLIK
Jika kita melihat dan memahami proses berjalannya konflik yang sejatinya telah terjadi paska kemerdekaan Eritrea hingga pecah perang terbuka pada tahun 1998, Konflik antara Eritrea dan Ethiopia ini bersifat spiral. Di mana konflik antara kedua Negara tersebut mengalami pasang surut. Sejak tahun 1994, upaya perundingan sudah mulai diupayakan oleh Organisasi Uni Afrika, sebagai pihak ketiga, namun perdamaian yang dihasilkan dari perundingan tersebut tidak bertahan lama. Paska gagalnya perundingan tersebut, Eritrea dan Ethiopia kembali berkonflik. Perundingan yang didorong pada bulan Juni 2000 pun tidak berhasil menegakkan perdamaian di antara kedua Negara, hingga akhirnya kedua Negara menandatangani Algiers Agreement  pada tanggal 12 Desember 2000. Di mana penandatanganan perjanjian damai ini difasilitasi oleh United Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE) sebagai pihak ketiga.
Keputusan yang dihasilkan dalam Algiers Agreement  sebagai upaya resolusi konflik perbatasan Eritrea-Ethiopia, sesuai dengan gagasan resolusi konflik yang diusung oleh Peter Walensteen. Di mana dalam resolusi konflik harus tercapai kompromi dan kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak yang bersengketa, adanya perjanjian yang ditandatangani bersama serta adanya penghormatan terhadap eksistensi Negara masing-masing dan dihentikannya tindakan kekerasan di antara keduanya. Baik Eritrea dan Ethiopia telah bersepakat menandatangani Algiers Agreement  dan menerima hasil keputusan bahwa wilayah yang disengketakan di dataran Badme dan sekitarnya diserahkan kepada Eritrea, pertukaran tawanan dan melepasakan warga sipil yang ditahan oleh kedua Negara, Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima draft rencana perdamaian yang disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar