Sabtu, 22 Desember 2012

Hegemoni AS di Kawasan Pasifik Barat Daya





Teori Hegemonic Stability Studi Kawasan Asia-Pasifik

Pengaruh Amerika Serikat Dalam Mencapai Kepentingannya
di Kawasan Pasifik Barat Daya


PENDAHULUAN
Teori Hegemonic Stability memiliki asumsi dasar bahwa suatu negara besar akan mempegaruhi negara lain yang berkaitan dengan kepentingannya dan akan menjadi satu-satunya kekuatan di kawasan itu atau negara itu tanpa saingan untuk kestabilam global.  Kehadiran Amerika Serikat di kawasan Pasifik Barat Daya bermula pada Perang Dunia II ketika Inggris kesulitan menghadapi Jepang dengan jatuhnya Malaya dan benteng pertahanan Inggris di Singapura dan pemboman atas Darwin oleh tentara Jepang. Pada saat itu mulai muncul ketakutan di pihak Australia dalam menghadapi serangan Jepang, Amerika Serikat membantu Australia menghadapi serangan Jepang.
Bahkan pada bulan Mei 1942, armada gabungan Amerika Serikat dan Australia berhasil mengusir kekuatan Jepang dalam pertempuran Laut Karang. Dan pada bulan Juni berhasil mengalahkan Jepang dalam pertempuran di Midway.Kemenangan  Amerika Serikat dalam Perang Dunia II menunjukkan pentingnya peran Amerika Serikat sebagai pengawal pertahanan dan keamanan Australia dan Kawasan Asia Pasifik. Sehingga kiblat Australia dan Selandia Baru berubah dari Pax Britannica ke Pax Americana.

PENGARUH AMERIKA SERIKAT
Amerika Serikat telah menunjukkan pengaruhnya dan semakin dominan di samudra Pasifik serta menjadikan kawasan tersebut sebagai payung pertahanannya. Kehadiran AS sesuai dengan strategi globalnya yakni untuk menjaga kepentingannya dan kemudian membendung masuknya kekuatan negara lain yang tidak dikehendaki. Selain itu AS juga membangun pangkalan militer di Guam, menandatangani Compact of Free Association dengan tiga negara kepulauan Pasifik Baratdaya yang sebelumnya merupakan negara perwaliannya yakni Rep. Palau, Kep. Marshall, dan Federasi Mikronesia.
Secara global kehadiran AS di Pasifik Baratdaya dapat dibagi atas tiga yakni :
1.      Sebagai upaya membendung pengaruh Uni Soviet
2.      Keterkaitannya dalam Pakta Pertahanan ANZUS
3.      Tanggung jawab AS atas daerah Perwalian Kepulauan Pasifik
·         Upaya Untuk Membendung Pengaruh Uni Soviet
Kebijakan luar negeri AS di Pasifik Baratdaya ditujukan untuk menghadapi dan membendung perluasan pengaruh dan kehadiran Uni Soviet. Adapun sasarannya adalah agar tidak ada negara yang mampu mengungguli kekuatannya. Dengan demikian kepentingan AS di kawasan PBD dapat terjamin. Sejak 1970 kepulauan ini menjadi semakin strategis bagi AS setelah pearikan pasukan mereka dari Vietnam, tapi yang menjadi alasan utama adalah meningkatnya aktifitas Uni Soviet di kawasan tersebut seperti pembangunan armada laut yang kuat dan kemudian perjanjian dengan Kiribati dan Vanuatu yang menyediakan fasilitas bagi kapal-kapal Uni Soviet disana.
Bagi AS, keberhasilan Uni Soviet di kawasan tersebut membahayakan jalur pelayaran di Pasifik antara Australia, Selandia Baru dan AS. AS juga memandang bahwa Uni Soviet dapat dengan mudah memantau gerakan kapal perang Barat di Pasifik melalui kapal-kapal perikanannya. Sebagai strategi gobal AS memandang Pulau di Pasifik Baratdaya sebagai jembatan untuk menghubungkannya dengan pangkalan militernya di Guam maupun basis militer lainnya di Australia, Filipina, Jepang, dan Korea Selatan. Berdasarkan pembacaan ini AS berusaha mencegah agar Uni Soviet tidak menggunakan pelabuhan Pasifik sebagai persinggahan kapal perangnya. Dalam melancarkan strategi untuk mencapai kepentingannya, AS kemudian membentuk ANZUS.
·         Keterkaitan dalam Pakta Pertahanan ANZUS
Sehingga Australia dan Selandia Baru membentuk pakta pertahanan ANZUS (Australia, New Zealand and United States). Pembentukan ANZUS ini bisa pula dikatakan sebagai strategy of denial toward United KingdomPakta ANZUS (Australia, New Zealand and United States) dibentuk dan ditandatangani pada September 1951 di San Fransisco oleh masing-masing perwakilan dari negara Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pakta ANZUS ini merupakan salah satu bentuk kerjasama keamanan “aliansi pertahanan” yang dirumuskan oleh ketiga negara tersebut. Di mana prinsip-prinsip dasar dalam Pakta ANZUS yang disepakati oleh ketiga negara anggota adalah:
1.      Saling membantu dalam mencegah para agresor yang mungkin muncul di kawasan Australia, Selandia baru dan Amerika Serikat;
  1. Mengkoordinasikan pertahanan bersama di kawasan Pasifik;
  2. Membendung pengaruh komunisme yang dianggap sebagai agresor di kawasan Asia Pasifik terutama dari China dan Uni Soviet;
  3. Meningkatkan kerjasama militer untuk mencegah terjadinya agresi negara lain ke kawasan Pasifik;
  4. Keterikatan dalam menghadapi segala serangan bersenjata bersama karena ancaman terhadap salah satu anggota juga merupakan ancaman bagi anggota lainnya. (Poin ini merupakan poin inti dan terpenting, di mana melalui pernyataan tersebut baik Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat berkomitmen untuk membentuk sebuah aliansi pertahanan (collective defense).
Dengan demikian secara moral dan politik AS lebih mudah untuk mencegah masuknya pengaruh Uni Soviet ke negara-negara Pasifik Baratdaya. Adapun andalan AS dalam bekerjasama dengan Australia dan Selandia Baru adalah fasilita militer AS di Australia yang memiliki arti sangat strategis serta pegaruh Selandia Baru terhadap negara kepulauan seperti Tonga dan Fiji. Sementara Selandia Baru dijadikan sebagai tempat untuk beberapa pangkalan militer AS.
Namun dalam perkembangannya hubungan AS dan Selandia Baru mengalami perbedaan pandangan dalam hal senjata nuklir yang mengakibatkan dikucilkannya Selandia Baru dari ANZUS. Hal ini kemudian diantisipasi oleh AS dengan menjanjikan bantuan ekonomi kepada Fiji dengan tujuan membangun pangkalan militer di Fiji.
·         Tanggung jawab AS atas daerah perwalian kepulauan Pasifik
Sesuai dengan kepeutusan Dewan Keamanan PBB tanggal 2 April 1947, Kep. Marshall, Kep. Mariana Utara, Kep. Palau dan Kep. Mikronesia yang sebelumnya berada dibawah mandate perwalian Jepang, kini menjadi dibawah perwalian AS. Pada Mei 1984 Ronald Reagan kemudian menyatakan akan meningkatkan kehadiran militernya pada kawasan perwaliannya tersebut.
Meskipun negara-negara tersebut telah merdeka melalui Compact of Free Association namun mereka masih mempunyai hubungan khusus dengan AS baik dibidang perthanan maupun dibidang hubungan luar negeri.

KESIMPULAN
Dalam mencapai kepentingannya di kawasan Pasifik Baratdaya, Amerika Serikat menggunakan pengaruhnya melalui aspek sejarah pada Perang Dunia II, bantuan ekonomi, Collective Security (ANZUS), serta pengaruhnya dalam PBB untuk menjadikan beberapa negara Pasifik Baratdaya sebagai negara perwaliannya yang kemudian dijadikan sebagai basis militer untuk menghambat laju Uni Soviet di kawasan Pasifik Baratdaya.

Analisis Penyelesaian Konflik Aceh






Penyelesaian Konflik Secara Damai
Studi Kasus Rekonsiliasi dan Resolusi di Aceh

PENDAHULUAN
Provinsi di Ujung Pulau sumatera yang akrab kita sebut sebagai Serambi Mekah, sudah sejak lama menjadi seperti rumah bagi peluru dan salak senjata. semenjak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap melanda negeri serambi mekah tersebut. saking terbiasanya dengan peperangan, maka rakyat Aceh sering menganggap perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya sungguhan. Sejarah Aceh terdiri dari lembaran perang, dari satu kancah pertempuran ke pertempuran lainnya. Dari melawan Portugis, belanda, sampai dengan melawan saudara sebangsanya sendiri. Di mana mana kalau ada pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidak-adilan. Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku. Dan kekecewaaan yang berkepanjangan pula inilah yang sering hingap di rakyat Aceh, mulai dari kecewa terhadap penjajahan Belanda, dan kecewa terhadap pemerintahan Indonesia itu sendiri.

ANALISIS KONFLIK ACEH
Karena kecewa terhadap pemerintah inilah yang membuat Tengku Daud Beureuh bersama sebagaian rakyat Aceh, memutuskan mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Indonesia pada 21 september 1953. Berbeda dengan pemberontakan daerah lain di Indonesia, yang mana cepat dapat dipadamkan, perlawanan rakyat Aceh ini bisa dibilang yang paling lama dan paling bandel. Meski pada akhirnya daud Beureuh dapat dibujuk untuk turun gunung, setelah segala tuntutannya dipenuhi, namun kekecewaan kembali hinggap di rakyat Aceh. mereka merasa sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi sapi perah pusat saja. hasil bumi yang melimpah diperkirakan hanya 1 persennya saja yang sampai ke tangan rakyat Aceh.
Hal inilah yang membuat Hasan Tiro dan kawan kawan kembali mengangkat senjata melalui panji-panji Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada tanggal 4 Desember 1974. Hal ini membuat Aceh kembali berlumuran dengan darah. paling sedikit 50 orang tewas setiap harinya selama 30 tahun.
Berbagai literatur mengenai resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belum tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara “Aceh” dengan “Jakarta”, ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya “bangsa Aceh”) dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.

PENYELESAIAN KONFLIK
Penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (situasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar “siapa” namun bisa meluas menjadi antar “situasi”. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, akses politik dan kepastian hukum.

Analisis Konflik Bosnia Herzegovina






Penyelesaian Konflik dengan Cara Perang dan Perundingan
Studi Kasus Konflik Bosnia Herzegovina

PENDAHULUAN
Konflik etnis adalah konflik yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia, bahkan di negara dengan tingkat keragaman etnis terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat. Pada beberapa kasus, konflik etnis yang terjadi sangatlah ekstrim, bahkan berujung pada tindakan genosida, yaitu pemusnahan suatu kelompok etnis oleh kelompok etnis lain, seperti apa yang terjadi di Jerman selama Perang Dunia II, di Rwanda pada tahun 1994, kasus di Yugoslavia, dan lain sebagainya.
Wilayah Bosnia yang terletak di jantung Federasi Yugoslavia telah menjadi rebutan sejak masa kerajaan Austro – Hongaria melawan pengaruh kerajaan Turki Ottoman, karena letaknya yang strategis, dan merupakan mesin utama perindustrian di Yugoslavia, dan mempunyai sumber daya alam dengan potensi ekonomi yang besar. Pemerintahan diatur secara bergilir oleh tiga etnis dominant di Bosnia (Muslim, Serbia dan Kroat), ikut menambah kerawanan negeri ini, karena pengaruh pada salah satu etnis dari negara tetangga ataupun dari luar, dapat segera membakar kearah pertikaian.

ANALISIS KONFLIK BOSNIA
Konflik etnis yang terjadi di Bosnia adalah gabungan dari faktor politik dan agama. Bosnia resmi menjadi sebuah negara merdeka pada 15 Oktober 1991, melalui referendum yang diikuti oleh etnis Bosnia yang mayoritas Muslim, dan Kroasia. PBB menyetujui keputusan ini, begitu juga dengan 120 negara lainnya. Keputusan ini ditentang oleh penduduk Serbia. Ini adalah awal terjadinya konflik etnis yang berujung pada konflik bersenjata internasional.
Serbia yang tidak setuju dengan hasil referendum kemudian membombardir ibukota Bosnia, Sarajevo, dan kota – kota lainnya. Data menyebutkan bahwa korban dari agresi ini berjumlah sekitar 200.000 orang, dimana hampir semuanya beragama Islam. Disinyalir bahwa agresi ini bertujuan untuk menghapuskan etnis Muslim di Bosnia, dan mencegah terbentuknya negara Bosnia sebagai satu – satunya negara Islam di daratan Eropa. Serangan Serbia ke Bosnia ini juga disinyalir didukunng oleh negara – negara Barat yang terlibat Perang Salib.
Perang antara etnis Serbia dengan etnis Kroasia terjadi pada awal tahun 1992 akibat tidak menentunya situasi di wilayah Bosnia Herzegovina. Aksi-aksi dari pihak Kroasia terhadap pihak Serbia Bosnia Herzegovina atau sebaliknya telah mengawali perang antara etnis Serbia Bosnia dan Kroat Bosnia. Pecahnya konflik bersenjata antara pihak Serbia Bosnia dan Kroat Bosnia dimulai dari serangan pihak Kroat Bosnia, di bawah pimpinan dari golongan ekstrim kanan Kroasia, terhadap penduduk Serbia Bosnia di desa Sijekovac dekat kota Bosanski Brod (bagian utara Bosnia Herzegovina) yang menewaskan 29 orang penduduk sipil Serbia Bosnia Herzegovina, 7 orang wanita Serbia Bosnia menderita perkosaan dan 3 di antaranya dibunuh.
Konflik ini kemudian ditunggangi berbagai macam kepentingan, milter maupun politik. Dalam politik telah terbentuk koalisi antara Muslim Bosnia dengan Kroat Bosnia sejak proses pemisahan diri Republik Bosnia Herzegovina dari Yugoslavia. Keadaan tersebut juga diikuti di bidang militer dimana terjadi aliansi antara kekuatan militer Muslim Bosnia dengan Kroat Bosnia untuk mengimbangi kekuatan Serbia Bosnia.
Penyelesaian krisis di wilayah Bosnia Herzegovina melalui perundingan yang tidak berhasil menghentikan krisis Bosnia Herzegovina, dan telah mendorong konflik bersenjata di lapangan antara pihak Serbia Bosnia dengan Muslim – Kroat Bosnia semakin meluas demi kepentingan – kepentingan tertentu. Dalam perang saudara, perang antar etnis dan agama yang terjadi di Bosnia Herzegovina banyak diwarnai oleh pertempuran – pertempuran antara pasukan Serbia Bosnia dengan pasukan Muslim – Kroat. Front pertempuran timbul di seluruh wilayah Bosnia Herzegovina.
Perkembangan situasi politik di Bosnia Herzegovina turut memengaruhi perkembangan situasi militer. Kegagalan – kegagalan usaha – usaha perdamaian yang disponsori oleh masyarakat internasional telah mendorong meningkatnya pertempuran-pertempuran di antara pihak – pihak yang bertikai di Bosnia Herzegovina. Persetujuan – persetujuan gencatan senjata tidak mampu menghentikan perang yang berkobar di antara pihak – pihak yang bertikai terutama antara pasukan Muslim Bosnia bersama – sama dengan Kroat Bosnia melawan pasukan Serbia Bosnia.

PENYELESAIAN KONFLIK
Berlarutnya masalah yang terjadi di Bosnia ini membuat PBB dan beberapa organisasi internasional lainnya turun tangan. Usaha – usaha yang dilakukan antara lain:
1.      PBB menghimbau agar Serbia menarik pasukannya dari Bosnia
2.      NATO mengirimkan pasukannya, dan memaksa Serbia meninggalkan Bosnia, dan memaksa Serbia melakukan perundingan di Beogard, yang diawasi oleh PBB
3.      Indonesia mengirimkan pasukan Garuda, bantuan makanan dan obat – obatan.
4.      Perundingan Dayton 1 November 1995 dibawah pengawasan NATO, Amerika, dan PBB, antara Serbia, Bosnia, dan Kroasia. Perjanjian ini disetujui di Pangkalan Udara Wright-Patterson di Dayton, Ohio. Hasil perundingan Dayton adalah:
§   Bosnia Herzegovina tetap sebagai tunggal secara internasional
§   Ibukota Sarajevo tetap bersatu di bawah federasi muslim Bosnia
§   Penjahat perang seperti yang telah ditetapkan mahkamah internasional tidak boleh memegang jabatan.
§   Pengungsi berhak kembali ke tempatnya
§   Pelaksanaan pemilu menunggu perjanjian Paris

Definisi Hukum Internasional Menurut Para Ahli

·     



Definisi Hukum Internasional Menurut Para Ahli

         Menurut Rebecca M Wallace Hukum Internasional merupakan peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti misalnya organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan lainnya
Definisi ini menurut saya sudah sangat cocok dengan konteks Hubungan Internasional saat ini sebab actor HI tidak hanya negara, melainkan organisasi internasional, individu ataupun perusahaan multi-nasional

·         J.G. Strke Mendefenisikan Hukum Internasonal sebagai sekumpulan Hukum (Body of Law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan Negara-negara satu sama lain.
Asas-asas yang dimaksudkan dalam definisi ini hanya berdasarkan pada kebiasaan ataiu hubungan yang dilakukan oleh negara-negara, mencakup segala aspek mulai dari ekonomi, pertahanan, keamanan, sosial, politik dan lainnya.

·         Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja.S,H. mendefinisikan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan Negara; Negara dengan subjek Hukum lain bukan negra atau Subyek hukum bukan Negara satu sama lain.
Tidak jauh berbeda dengan dua definisi diatas, definisi ini lebih merigidkan actor dalam HI, juga lebih pada menggabungkan definisi hukum dan hubungan internasional.

·         Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. mendefinisikan “Hukum Publik Internasional” sebagai hukum yang mengatur perhubungan hukum antara pelbagai bangsa di pelbagai negara sebagai perbedaan daripada istilah ‘-Hukum Perdata Intemasional”.
Yang dimaksudkan disini adalah hukum yang mengatur aktifitas internasional antar berbagai bangsa.

·         Menurut ransisco suares hukum internasional adalah hukum yang berlaku untuk seluruh manusia atas dasar hukum manusia demi kesejahteraan
Definisi ini lebih menekankan pada pencapaian tujuan dibuatnya suatu aturan atau hukum, yakni kesejahteraan umat manusia.

·         Menurut brierly hukum internasional adalah sekumpulan aturan dan asas untuk berbuat sesuatu yang mengikat negara-negara beradab di dalam hubungan mereka dengan jalan lain.
Definisi ini menekankan pada terbentuknya suatu pakem untuk mengatur pola interaksi tiap-tiap negara dalam berhubungan dengan negara lain, namun terlalu menekankan pada keterikatan setiap negara pada hukum tersebut, sementara setiap negara berbeda-beda dalam memahami dan melaksanakan interaksi dengan negara lain.

·         Sam Suhaedi, hukum Internasional adalah himpunan aturan, norma, dan asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat internasional.
Dalam definisi ini menyatakan bahwa adanya petunjuk yang mengatur pola interaksi masyarakat internasional, baik hubungan itu dilakukan secara resmi antar institusi resmi (Negara,organisasi,perusahaan) ataupun individu.

·         Definisi oleh Wirjono Prodjodikoro Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antar berbagai bangsa di berbagai Negara.
Definisi ini belum memenuhi hakekat hukum internasional, sebab argumennya terpatahkan dengan kemajemukan suatu bangsa dalam satu negara, sementara pernyataan dari definisi ini menekankan pada aturan yang mengatur hubungan hukum antar berbagai bangsa di berbagai negara.

·         Hugo de Groot Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara antara Negara dengan Negara, Negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lain.
Definisi ini merupakan definisi yang sangat jelas, sebab sudah dijelaskan tentang aktifitas dan aktor dalam hubungan internasional serta definisi dari hukum itu sendiri.

·         Menurut Hackwort Hukum Internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan diantara negara-negara.
Definisi ini hanya terpaku pada actor HI negara, namun tidak memperhatikan actor HI lainnya seperti organisasi, perusahaan, atapun individu.

KONFLIK PERBATASAN ETHIOPIA DAN ERITREA






KONFLIK PERBATASAN ETHIOPIA DAN ERITREA

PENDAHULUAN
Pada masa Perang Dunia II, wilayah Eritrea diduduki oleh Inggris. Namun, paska Perang Dunia II berakhir, Inggris sebagai Negara yang sedang menduduki Eritrea diminta oleh PBB untuk menyerahkan Eritrea kepada Ethiopia. Ethiopia menerima keputusan PBB tersebut. Tetapi Eritrea tidak sepaham dengan keputusan tersebut, karena Eritrea menganggap keputusan tersebut merugikan dan Ethiopia dianggap sebagai penjajah baru. Sehingga rakyat Eritrea mulai melakukan perlawanan dan pemberontakan sejak tahun 1962 hingga akhirnya merdeka melalui referendum pada tahun 1993.
Sejak itu, baik Eritrea maupun Ethiopia menjadi masing-masing Negara yang merdeka dan berdaulat di kawasan Afrika dengan nama State of Eritrea (Eritrea) dan Federal Democratic Republic of Ethiopia (Ethiopia). Namun, paska kemerdekaan Eritrea tersebut hubungan kedua Negara memburuk baik dari segi ekonomi, diplomatik, kependudukan, maupun dari segi kewilayahan. Bahkan, paska kemerdekaan Eritrea kedua Negara telah membentuk komisi bersama untuk menentukan status resmi dari wilayah-wilayah di perbatasan kedua Negara yang menjadi persengketaan utama. Namun, komisi ini gagal untuk menyelesaikan masalah perbatasan yang disengketakan oleh kedua Negara.
Puncak ketegangan antara kedua Negara terjadi ketika Eritrea dan Ethiopia terlibat dalam perang terbuka yang berlangsung sejak tahun 1998. Perang terbuka tersebut terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan di antara keduanya. Dalam perang terbuka tersebut, masing-masing pihak mengerahkan ratusan ribu tentara dan persenjataan-persenjataannya yang paling canggih. Akibat perang ini kedua Negara kehilangan ratusan ribu nyawa warga negaranya. Hingga akhirnya, perang terbuka antara Eritrea dan Ethiopia tersebut dapat diakhiri pada tahun 2000.
ANALISIS KONFLIK DAN PENYEBANYA
Alasan utama dari konflik yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia adalah karena Ethiopia tidak lagi memiliki perbatasan di sepanjang Laut Merah dan karena itu bergantung terhadap jasa kapal dan perdagangan barang sepanjang Laut Merah, terutama bergantung dengan Eritrea. Karena itulah kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan, khususnya dataran Badme, yang strategis dan bermuara ke Laut Merah sebagai akses transportasi dan perdagangan bagi kedua Negara.
Konflik di antara kedua Negara tersebut merupakan konflik yang bersifat spiral. Konflik di antara kedua Negara tersebut juga termasuk ke dalam kategori interstate war yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital politik. Dari segi geopolitik, kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan yang bernilai strategis bagi kedua Negara, terutama wilayah di dataran Badme. Dari segi kapital politk, perebutan daerah perbatasan tersebut karena daerah perbatasan yang disengketakan bernilai strategis dan menjadi akses langsung menuju Laut Merah sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut Merah inilah yang mereka butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian kedua Negara.
RESOLUSI KONFLIK
Jika kita melihat dan memahami proses berjalannya konflik yang sejatinya telah terjadi paska kemerdekaan Eritrea hingga pecah perang terbuka pada tahun 1998, Konflik antara Eritrea dan Ethiopia ini bersifat spiral. Di mana konflik antara kedua Negara tersebut mengalami pasang surut. Sejak tahun 1994, upaya perundingan sudah mulai diupayakan oleh Organisasi Uni Afrika, sebagai pihak ketiga, namun perdamaian yang dihasilkan dari perundingan tersebut tidak bertahan lama. Paska gagalnya perundingan tersebut, Eritrea dan Ethiopia kembali berkonflik. Perundingan yang didorong pada bulan Juni 2000 pun tidak berhasil menegakkan perdamaian di antara kedua Negara, hingga akhirnya kedua Negara menandatangani Algiers Agreement  pada tanggal 12 Desember 2000. Di mana penandatanganan perjanjian damai ini difasilitasi oleh United Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE) sebagai pihak ketiga.
Keputusan yang dihasilkan dalam Algiers Agreement  sebagai upaya resolusi konflik perbatasan Eritrea-Ethiopia, sesuai dengan gagasan resolusi konflik yang diusung oleh Peter Walensteen. Di mana dalam resolusi konflik harus tercapai kompromi dan kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak yang bersengketa, adanya perjanjian yang ditandatangani bersama serta adanya penghormatan terhadap eksistensi Negara masing-masing dan dihentikannya tindakan kekerasan di antara keduanya. Baik Eritrea dan Ethiopia telah bersepakat menandatangani Algiers Agreement  dan menerima hasil keputusan bahwa wilayah yang disengketakan di dataran Badme dan sekitarnya diserahkan kepada Eritrea, pertukaran tawanan dan melepasakan warga sipil yang ditahan oleh kedua Negara, Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima draft rencana perdamaian yang disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU).

Konflik Gas Rusia - Ukraina





Konflik Gas Rusia – Ukraina
 
            Gas alam merupakan salah satu komoditas yang sangat berpengaruh dalam menggerakkan sektor industri dan rumah tangga di Uni Eropa, gas alam ini sebagian besar dipasok dari Rusia yang dalam hal politik saat ini sedang membentuk Uni Eurasia (Eurasian Union) yaitu kerjasama kawasan yang akan dibentuk oleh Rusia dari negara bekas Uni Soviet yang didalamnya sudah berdiri tegak Rusia, Kazakhstan, dan Belarusia. Dalam memperkuat Uni Eurasia, Rusia kemudian mempengaruhi Ukraina untuk bergabung dalam Uni Eurasia namun Ukraina tengah berupaya untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa. Berikutnya pasca Orange Revolution ketika penduduk Ukraina memutuskan untuk mendukung pemimpin anti Rusia, telah mendorong Rusia untuk memutuskan subsidi harga gas alam yang selama ini diberikan kepada Ukraina. Rusia juga berkeinginan agar Naftogaz (perusahaan gas Ukraina) bergabung dengan Gazprom (Perusahaan gas Rusia) sehingga Rusia dapat memonopoli setiap aktivitas distribusi gas alam yang pipa-pipanya melalui Ukraina. Ukraina menolak usulan Rusia karena hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip Uni Eropa yang mengedepankan free trade.
                Ukraina sebagai negara yang berada diantara Rusia dengan Uni Eropa dilalui 80% dari total 40% impor gas alam negara-negara Uni Eropa dari Rusia yang diangkut melalui Ukraina. Sudah merupakan realitas bahwa posisi Uni Eropa lemah menghadapi keunggulan komparatif Rusia sebagai pemasok seperempat kebutuhan energi di Eropa. Rusia sebagai negara pemasok utama energi terutama gas alam ke negara-negara Eropa menjadikannya sebagai sutradara dalam penentuan hubungan Rusia dengan negara-negara Uni Eropa. Rusia yang memiliki cadangan minyak dan gas alam yang tinggi semakin menunjukkan peranan penting dalam menentukan posisi tawar Rusia di hadapan negara-negara Uni Eropa, apalagi ketergantungan negara-negara Eropa terhadap gas alam Rusia makin lama makin besar. Terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina mengenai suplai gas alam sejak Januari 2006 telah menyebabkan Gazprom, perusahaan gas Rusia, memutus suplai gas Rusia ke Eropa yang melalui Ukraina. Pemutusan suplai gas alam ini berdampak buruk bagi Eropa karena jaringan pipa gas yang melalui Ukraina memasok kurang lebih seperlima dari total kebutuhan gas di Eropa. Tercatat tujuh negara di Eropa Tengah dan Barat termasuk Italia dan Perancis kehilangan 14 persen dan 40 persen pasokan gas alamnya. Masalah ini dapat diselesaikan melalui kesepakatan antara kedua negara sehingga pada akhirnya Rusia kembali mengalirkan gas alam ke Eropa melalui Ukraina. 
Sayangnya, masalah ini terulang kembali ketika Gazprom memutuskan aliran gas Rusia ke Eropa yang melalui Ukraina ketika Naftogaz gagal membayar hutang sebesar $ 2 milyar untuk pengiriman gas tahun 2008. Perseteruan antara keduanya dipicu oleh gagalnya kesepakatan antara Moskow-Kiev mengenai harga gas. Pada satu sisi Gazprom menginginkan agar Ukraina membayar sebesar $ 450 per 1000 m³. Namun pada sisi lain harga ini ditolak oleh Ukraina dengan alasan bahwa negara tersebut hanya mampu membayar $ 235  per tcm itupun dengan syarat kenaikan pembayaran biaya transit dari Rusia karena Rusia mengangkut lebih dari 80 persen gas alam untuk dikirimkan ke negara-negara Eropa melalui Ukraina. Selain ,asalah yang telah dipaparkan diatas, masalah penentuan harga ini juga menjadi pemicu konflik tidak langsung yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina yang sangat berdampak bagi Uni Eropa
Di kalangan negara-negara Eropa muncul kekhawatiran akan terulangnya kembali konflik antara Rusia dan Ukraina mengenai ketidaksamaan harga gas alam yang menyebabkan putusnya pasokan gas alam Rusia ke Eropa pada tahun 2009 sehingga negara-negara Eropa ini tidak mendapatkan akses gas alam untuk memenuhi kebutuhan listrik. Konflik antara Rusia dan Ukraina mengenai pengiriman gas alam tersebut menyebabkan tujuh negara Eropa terhenti pasokan gas alamnya bahkan Rusia mengurangi pasokan gas alam  ke negara lain secara drastis. 
Konflik yang tidak kunjung berakhir antara Rusia dan Ukraina memunculkan kekhawatiran bagi negara-negara Uni Eropa karena hingga saat ini negara-negara Uni Eropa masih sangat tergantung dengan impor gas alam Rusia yang diangkut melalui Ukraina. Selama ini Rusia memiliki peranan sangat besar dalam perdagangan energi di Eropa khususnya minyak bumi dan gas alam sehingga Eropa sangat tergantung dengan suplai energi dari Rusia. Gazprom, perusahaan minyak nasional yang mengelola gas alam di Rusia, memiliki kekuatan penuh dalam hal produksi, distribusi, dan penentuan harga, sehingga semua masalah energi dikendalikan dibawah kepentingan pemerintah Rusia. 
Kondisi tersebut yang selalu dikhawatirkan oleh Uni Eropa sehingga Uni Eropa sangat tertarik dengan reformasi pasar energi di Rusia khususnya upaya Uni Eropa untuk melakukan liberalisasi atas monopoli pasokan dan pasar gas alam Rusia melalui Gazprom. Sayangnya, hal ini ditolak oleh Rusia karena Rusia akan mensuplai energi ke Uni Eropa melalui kontrak jangka panjang dengan klausul didalamnya yang menyatakan adanya territorial restriction yaitu apabila suatu negara menerima pasokan energi yang berlebih dari Rusia maka negara tersebut tidak boleh menjual energi ke negara lain. Monopoli tersebut menyebabkan Gazprom bebas menentukan harga energi yang berbeda antara satu negara Uni Eropa dengan negara Uni Eropa lain padahal sesama negara Uni Eropa terikat peraturan single market. Disinilah letak kekuatan pasar energi uisa di negara-negara Eropa bahkan para pejabat Uni Eropa telah memperingatkan akan munculnya situasi krisis, sehingga akibat kekhawatiran bersama tersebut, Uni Eropa mencoba merumuskan kebijakan energi bersama bagi negara-negara Uni Eropa untuk menjaga stabilitas pasokan energi dalam negeri.
                Sebenarnya, keseragaman kebijakan energi Uni Eropa sudah menjadi prioritas utama sejak pertengahan tahun 1990 yang ditandai dengan dikeluarkannya green paper mengenai liberalisasi sektor kelistrikan. Namun baru sekitar tahun 2000 harmonisasi kebijakan energi mulai dikonsentrasikan pada penguatan suplai energi. Terdapat beberapa usaha yang dilakukan oleh Uni Eropa mengenai harmonisasi kebijakan energi yaitu diversifikasi sumber energi dan stockpiling, sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut masih berorientasi internal yang hanya mengatur dan mengikat sesama negara anggota Uni Eropa saja. Sementara kebijakan Uni Eropa untuk third national country belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari negara-negara pengekspor energi karena setiap negara Uni Eropa memiliki tingkat ketergantungan energi yang berbeda dari para negara pensuplai energi. 
Bahkan sudah tidak mengejutkan lagi ketika beberapa tahun terakhir terjadi ketegangan hubungan antara negara pensuplai energi, Rusia, dan Uni Eropa, terkait adanya kekhawatiran bahwa Rusia akan menggunakan suplai gas alam ke Uni Eropa sebagai alat politiknya. Contoh konkret mengenai kekhawatiran tersebut muncul tahun 2009 ketika Rusia hanya mau bernegosiasi mengenai harga gas alam dengan Ukraina apabila Ukraina bersedia menjadi anggota Uni Eurasia serta perusahaan gas nasional Ukraina, Naftogaz, bersedia bergabung dengan Gazprom. Hal ini dilakukan Rusia untuk dapat memonopoli perdagangan gas alam ke negara-negara Eropa. 

                  Pada kenyataannya, pasokan energi Uni Eropa dari Rusia juga masih rentan hingga saat ini karena, pertama, Rusia terus melakukan tekanan politik terhadap negara yang wilayahnya dilalui pipa gas alam ke Eropa seperti di Ukraina, sehingga secara tidak langsung konflik Rusia dengan negara transit point ini juga mengancam keamanan energi Uni Eropa. Kedua, pada satu sisi Uni Eropa terkesan enggan untuk mengalihkan suplai gas alamnya dari negara-negara Asia Tengah karena mahalnya biaya investasi untuk mengalirkan gas alam tersebut, sementara pada sisi lain Rusia melalui perusahaan energinya, Gazprom, gencar berinvestasi dalam penambahan jalur-jalur pipanya. Konflik tidak langsung yang melibatkan Rusia dengan Ukraina ini merupakan konflik yang disebabkan oleh beberapa masalah seperti masalah ekonomi, sumber daya alam dan politik.Konflik ini tergolong rumit sebab berdampak sistemik pada negara-negara Uni Eropa mulai dari perkembangan ekonominya, sampai pada kebijakan eksternal yang akan diambil.