Minggu, 27 Maret 2011

it's about love


Love,, cinta….
Ok, kita akan berbicara cinta dari sudut pandang yang agak berbeda yang agak tolol…
Bagian yang tidak akan pernah selesai dibahas dalam kehidupan,,, sebuah tulisan yg mungkin tidak berarti apa apa buat siapapun,,
Mengapa saya katakan tidak akan pernah selesai, karna saat seseorang matipun cinta akan tetap ada kecuali dunia ini selesai…
Well,,banyak hal yang bisa dianalogikan dengan cinta, , bhkan sangat banyak..
Menurutku cinta itu berawal dri rasa kagum, suka, tertarik,senang terhadap sesuatu, sayang, dan cinta tidak berawal dari rasa benci seperti yang dikatakan para sinetron2 holic..
Apalah arti cinta dibandingkan menikmati kesenangan sesaat...
Mungkin hampir sama, sad ending dari cinta akan meniggalkan kekecewaan. Penyesalan, rasa bersalah, dosa atau apalah namanya...
Cinta menjadi pusat dari berbagai warna, tanggung jawab, rasa sayang, respect, kedamaian, senang, bahagia, gembira, happy atau apalah yang bisa membuat orang menjadi seperti pecandu shabu yang sedang fly, seang berlebihan hingga lupa apa yang ada disekitarnya...
Cinta tak selamanya indah,, seperti judul lagu yg saya lupa nama penyanyinya,,,, bisa membuat orang menangis semalaman, mabuk2an, bahkan ada yang menyelesaikan hidupnya...
Suatu saat akan menjadi kenangan bagaikan hitam dan putih,,
Ada kenangan indah yang ketika dikenang akan membuat orang tersenyum dan menyesali perbuatan yang membuat sad ending...
Ada kenangan buruk yang ketika dikenang akan mengalirkan air mata dan penyesalan telah mencintai,,,
Bisa merusak hidup seseorang bagaikan racun yang merasuki tubuh tanpa kompromi, namun bisa pula memperindah hidup seseorang bagaikan mukjizat Tuhan yang datang disaat gelap...
Terkadang membuat orang menjadi dihormati dan disegani bak seorang raja bahkan melebihi Tuhannya sendiri,,, tapi terkadang mempermalukan orang bak iblis yang begitu jahat dan tak lebih baik dari sampah yang sudah tidak berguna sama sekali...
Indah ketika anda terus menikmatinya dan memperlakukannya dengan baik sebaik baiknya....... C.I.N.T.A ,,, sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga, tak dapat disentuh atau dilihat, cukup dirasakan,,, tak akan ada habisnya sampai dunia ini benar benar selesai...(dh270311#12:14am)

Itu Mereka

Mereka tlah akrab dengan deru dan asap kendaraan, mereka tlah bermimpi indah diatas kardus bekas yang beratapkan dinginnya langit malam, mereka tertawa gembira saat bermain dibawah terik matahari yang menyengat, gertakan dan hardikan dari dalam mobil mewah telah menjadi santapan sehari – hari kala lagu yang mereka nyanyikan tak diperdulikan dan tidak mendapat belas kasihan.
Tembok – tembok tinggi telah menjadi saksi bisu indahnya hidup mereka, hangatnya sinar lampu jalan tlah menghangatkan mereka dikala dinginnya malam menyerang. Mereka tetap tertawa riang gembira ditengah hiruk pikuk kota metropolitan. Rumah ?? semua tempat adalah rumah mereka, bebas berbaring dimana saja dan siap untuk berpindah ketika diusir dan bereselimutkan embun.
Bukankah mereka dibiayai oleh Negara ?? siapa “Negara” itu ?? orang kaya yang punya banyak sumber daya alam, punya hutan yang luas, punya lautan yang luas, selalu memakai topeng burung garuda yang agung, ia berani dan suci. Si “Negara” saja banyak hutang, mana bisa membiayai mereka.
Siapa bilang mereka tidak makan ?? mereka makan kok, bahkan yang mereka makan itu tidak pernah kita nikmati. Hebat kan !!!
Mereka bukan orang – orang pemalas yang tidak mau bekerja, tapi inilah yang bisa mereka kerjakan selama ini. Mereka tidak pernah menyesal terlahir seperti ini. Berbeda dengan mereka yang lainnya, tidur diatas empuknya springbed, ketika kedinginan tinggal menarik selimut dan ketikan kepanasan tinggal menekan tombol on pada remote air conditioner. Saya tidak mengatakan ada yang bersenang senag diatas penderitaan orang lain, toh mereka tidak menderita, tingkat kenyamanan tiap individu itu relatif. Saya Cuma berpikir, kapan mereka bisa merasakan yang tidak pernah mereka rasakan. Saya hanya merasa terlalu egois ketika hanya memberi uang seribu kepada mereka yang menengadahkan tangan disekitar lampu merah.
Dan sebagai penutup dari catatan ini satu ide yang tidak masuk akal dan sedikit gak nyambung, ”bagaimana jika setiap anggota dpr atau pejabat tinggi lainnya mengasuh dua orang dari para gelandangan dan pengemis”. Semoga tidak pernah terpikirkan oleh siapapun. (dh240311#9:37pm)
Mereka tlah akrab dengan deru dan asap kendaraan, mereka tlah bermimpi indah diatas kardus bekas yang beratapkan dinginnya langit malam, mereka tertawa gembira saat bermain dibawah terik matahari yang menyengat, gertakan dan hardikan dari dalam mobil mewah telah menjadi santapan sehari – hari kala lagu yang mereka nyanyikan tak diperdulikan dan tidak mendapat belas kasihan.
Tembok – tembok tinggi telah menjadi saksi bisu indahnya hidup mereka, hangatnya sinar lampu jalan tlah menghangatkan mereka dikala dinginnya malam menyerang. Mereka tetap tertawa riang gembira ditengah hiruk pikuk kota metropolitan. Rumah ?? semua tempat adalah rumah mereka, bebas berbaring dimana saja dan siap untuk berpindah ketika diusir dan bereselimutkan embun.
Bukankah mereka dibiayai oleh Negara ?? siapa “Negara” itu ?? orang kaya yang punya banyak sumber daya alam, punya hutan yang luas, punya lautan yang luas, selalu memakai topeng burung garuda yang agung, ia berani dan suci. Si “Negara” saja banyak hutang, mana bisa membiayai mereka.
Siapa bilang mereka tidak makan ?? mereka makan kok, bahkan yang mereka makan itu tidak pernah kita nikmati. Hebat kan !!!
Mereka bukan orang – orang pemalas yang tidak mau bekerja, tapi inilah yang bisa mereka kerjakan selama ini. Mereka tidak pernah menyesal terlahir seperti ini. Berbeda dengan mereka yang lainnya, tidur diatas empuknya springbed, ketika kedinginan tinggal menarik selimut dan ketikan kepanasan tinggal menekan tombol on pada remote air conditioner. Saya tidak mengatakan ada yang bersenang senag diatas penderitaan orang lain, toh mereka tidak menderita, tingkat kenyamanan tiap individu itu relatif. Saya Cuma berpikir, kapan mereka bisa merasakan yang tidak pernah mereka rasakan. Saya hanya merasa terlalu egois ketika hanya memberi uang seribu kepada mereka yang menengadahkan tangan disekitar lampu merah.
Dan sebagai penutup dari catatan ini satu ide yang tidak masuk akal dan sedikit gak nyambung, ”bagaimana jika setiap anggota dpr atau pejabat tinggi lainnya mengasuh dua orang dari para gelandangan dan pengemis”. Semoga tidak pernah terpikirkan oleh siapapun. (dh240311#9:37pm)

Rabu, 23 Maret 2011

Realis Part I

Perspektif realisme berakar dari asumsi dasar tentang pesimisme dan skeptisisme terhadap sifat dasar manusia. Pesimisme dan skeptisisme tersebut terutama tentang peluang yang sangat kecil dalam kemajuan politik internasional dan politik domestik, yang kemudian dapat disebut sebagai asumsi kedua. Asumsi dasar ketiga adalah bahwa dunia ini sebenarnya terdiri atas negara-negara berdaulat yang saling terlibat konflik anarkis. Perang lah yang kemudian menjadi penyelesaian dari konflik tersebut. Asumsi keempat adalah menjunjung tinggi keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara (Jackson & Sorensen 1999:88).

Sedangkan Gilpin (1986:305) mengemukakan bahwa terdapat dua penekanan utama pada perspektif realis. Pertama, adanya pemaksaan politis yang didasari oleh egoisme manusia. Kedua, yaitu tidak adanya pemerintahan internasional yang menyebabkan anarki, sehingga kemudian membutuhkan keunggulan power dan keamanan. Dalam konteks ini, kaum realis menggunakan keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara sebagai dasar normatif penyebaran doktrin dan pengambilan kebijakan luar negerinya.

Bagi kaum realis, negara (state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary) dan rasional. Maksudnya adalah bahwa dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara, sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal ( Viotti & Kauppi 1998:55)

Realisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga, berdasarkan intensitas dan eksklusifitasnya dalam menjalankan komitmen terhadap nilai-nilai pokok realisme. Pertama, realisme radikal yang hanya fokus pada power dan kepentingan pribadi dalam politik internasional. Kedua, yaitu realisme yang kuat (strong realism) yang menekankan pada dominasi power, kepentingan pribadi, dan konflik antar negara. Sedangkan ketiga, yaitu realisme lemah (hedged realism) masih memperhitungkan aspek lain yang penting (selain power dan interest) dalam politik internasional.
Realisme Klasik, Realisme Neoklasik, Realisme Strategis, dan Neorealisme
Realisme klasik dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan politik seperti Thucydides, Niccolo Machiavelli, dan Thomas Hobbes. Thucydides melihat bahwa perang merupakan langkah rasional dan masuk akal untuk mencapai keamanan dan kelangsungan hidup negara karena negara tidak memiliki pilihan lain selain politik kekuasaan yang harus mereka jalankan dalam kondisi yang anarkis. Sedangkan asumsi dasar Machiavelli adalah bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu kemerdekaan. Dalam mewujudkannya, penguasa dituntut untuk memiliki kekuatan mempertahankan kepentingan negara bagaikan singa, sekaligus harus mampu berperilaku cerdik seperti rubah.

Dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651), Thomas Hobbes menguraikan tentang tiga asumsi dasar realisme, yaitu (1) manusia adalah sama, (2) manusia berinteraksi dalam lingkungan yang anarkis, dan (3) manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri (diffidence), dan kemuliaan (glory). Oleh karena itu kemudian muncul konsep bellum omnium contra omnes, atau war of all against all, semua manusia pada dasarnya berkompetisi demi kepentingannya sendiri. Secara singkat realisme klasik a la Hobbes menekankan pada kekuatan politik dan hukum internasional. Akan tetapi, upaya untuk menyelesaikan masalah politik, terutama politik internasional, melalui aturan hukum atau kebijakan politik bersifat tidak permanen. Pemikiran Hobbes tersebut didasari oleh realitas dilema keamanan (security dilemma) yang terjadi saat pencapaian keamanan perseorangan dan domestik melalui penciptaan negara selalu disertai dengan ketidakstabilan keamanan nasional dan interrnasional yang berakar dari sistem anarki negara.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan sebelumnya, realisme neoklasik Morgenthau mengasumsikan bahwa sifat dasar manusia adalah animus dominandi (manusia haus akan kekuasaan) dan mementingkan diri sendiri. Hans Morgenthau (1985:4-17) mengemukakan asumsinya dalam “enam prinsip realisme politik”, yaitu (1) politik berakar dari sifat dasar manusia yang mementingkan diri sendiri, (2) politik adalah wilayah tindakan otonom yang tidak dapat terlepas dari masalah ekonomi dan moral, (3) Politik internasional adalah arena bagi konflik kepentingan-kepentingan negara, (4) etika hubungan internasional berbeda jauh dari moralitas pribadi, (5) tidak ada negara yang mampu memaksakan ideologinya, dan (6) manusia terbatas dan tidak sempurna. Bagi kaum realisme klasik, perimbangan kekuatan (balance of power) dianggap penting karena dapat mencegah adanya hegemoni yang dikhawatirkan akan menguasai dunia.

Di samping itu, Thomas Schelling (1980; 1996) mengemukakan ide realisme strategis yang pada intinya fokus pada pembuatan kebijakan luar negeri. Realisme strategis versi Schelling ini muncul pada era nuklir, yang dalam praktiknya lebih menggunakan analisis strategis yang behavioral dibandingkan kerangka normatif realisme dalam hubungan internasional. Alat-alat dalam realisme strategis adalah kecerdasan, ketegangan antar negara yang terlibat, dan keberanian untuk mengambil resiko.

Era realisme kontemporer yang dibawa oleh Schelling juga diikuti oleh Kenneth Waltz (1979) yang membawa konsep neorealisme. Bagi Waltz, fokus utama hubungan internasional bukan lagi terletak pada aktornya, tetapi pada sistem di mana aktor-aktor tersebut berinteraksi. Fokus utama dalam neorealisme adalah struktur sitem dan distribusi kekuatan relatif. Waltz lebih menganggap bahwa sistem bipolar lebih menjamin keterjaminan keamanan dunia dibandingkan dengan sistem multipolar. Sekali lagi, konsep perimbangan kekuatan menjadi fokus utama bagi konsep perdamaian dunia versi Waltz. Akan tetapi, Waltz tidak memberikan arah kebijakan praktis bagi penyelesaian konflik dunia. Hal ini sejalan dengan terbatasnya pilihan yang disebabkan oleh struktur internasional yang membatasi gerak para aktor yang terlibat di dalamnya. Bagi Waltz, negara yang berkekuatan besar adalah negara yang sejalan dan menganut sistem yang berlaku dalam skala internasional.
Kritik terhadap Realisme dan Neorealisme

Jack Donnelley dalam tulisannya yang berjudul Realism dalam buku Theories of International Relations menyatakan bahwa realisme bukan merupakan teori preskriptif, atau teori yang memberikan petunjuk. Selain itu, realisme juga teori yang fokusnya terlalu sempit. Jackson dan Sorensen menambahkan bahwa realisme gagal menangkap perluasan politik internasional. Secara umum saya setuju dengan pendapat ketiga ilmuwan tersebut. Penjelasannya, realisme hanya menjelaskan masalah politik internasional melalui aspek historis. Para scholar hanya melihat berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, seperti Thucydides yang mengangkat teori realisme klasik berdasarkan fakta persaingan state pada masa Yunani kuno. Sedangkan ketidakmampuan realis dalam memprediksikan apa yang akan terjadi dalam politik internasional semakin nyata terlihat manakala tidak dapat menjelaskan dan menangkap adanya aktor penting lain yang bukan negara. Misalnya saja transnasional company (TNC) dan Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO. Padahal pada saat ini NGOs dan TNCs memiliki peran penting dalam mempengaruhi aktor negara untuk membuat kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kurang terbukanya realisme terhadap perubahan konstelasi politik internasional ini menyebabkan kurang “luwes”nya teori realisme jika diterapkan pada kondisi dunia saat ini. 

Referensi:
Donnelly, Jack. Theories of International Relations. Realism (no more publication detail is available)
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 1998. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company