Sabtu, 22 Desember 2012

Analisis Penyelesaian Konflik Aceh






Penyelesaian Konflik Secara Damai
Studi Kasus Rekonsiliasi dan Resolusi di Aceh

PENDAHULUAN
Provinsi di Ujung Pulau sumatera yang akrab kita sebut sebagai Serambi Mekah, sudah sejak lama menjadi seperti rumah bagi peluru dan salak senjata. semenjak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap melanda negeri serambi mekah tersebut. saking terbiasanya dengan peperangan, maka rakyat Aceh sering menganggap perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya sungguhan. Sejarah Aceh terdiri dari lembaran perang, dari satu kancah pertempuran ke pertempuran lainnya. Dari melawan Portugis, belanda, sampai dengan melawan saudara sebangsanya sendiri. Di mana mana kalau ada pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidak-adilan. Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku. Dan kekecewaaan yang berkepanjangan pula inilah yang sering hingap di rakyat Aceh, mulai dari kecewa terhadap penjajahan Belanda, dan kecewa terhadap pemerintahan Indonesia itu sendiri.

ANALISIS KONFLIK ACEH
Karena kecewa terhadap pemerintah inilah yang membuat Tengku Daud Beureuh bersama sebagaian rakyat Aceh, memutuskan mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Indonesia pada 21 september 1953. Berbeda dengan pemberontakan daerah lain di Indonesia, yang mana cepat dapat dipadamkan, perlawanan rakyat Aceh ini bisa dibilang yang paling lama dan paling bandel. Meski pada akhirnya daud Beureuh dapat dibujuk untuk turun gunung, setelah segala tuntutannya dipenuhi, namun kekecewaan kembali hinggap di rakyat Aceh. mereka merasa sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi sapi perah pusat saja. hasil bumi yang melimpah diperkirakan hanya 1 persennya saja yang sampai ke tangan rakyat Aceh.
Hal inilah yang membuat Hasan Tiro dan kawan kawan kembali mengangkat senjata melalui panji-panji Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada tanggal 4 Desember 1974. Hal ini membuat Aceh kembali berlumuran dengan darah. paling sedikit 50 orang tewas setiap harinya selama 30 tahun.
Berbagai literatur mengenai resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belum tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara “Aceh” dengan “Jakarta”, ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya “bangsa Aceh”) dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.

PENYELESAIAN KONFLIK
Penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (situasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar “siapa” namun bisa meluas menjadi antar “situasi”. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, akses politik dan kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar