KONFLIK PERBATASAN ETHIOPIA DAN ERITREA
PENDAHULUAN
Pada masa
Perang Dunia II, wilayah Eritrea diduduki oleh Inggris. Namun, paska Perang
Dunia II berakhir, Inggris sebagai Negara yang sedang menduduki Eritrea diminta
oleh PBB untuk menyerahkan Eritrea kepada Ethiopia. Ethiopia menerima keputusan
PBB tersebut. Tetapi Eritrea tidak sepaham dengan keputusan tersebut, karena
Eritrea menganggap keputusan tersebut merugikan dan Ethiopia dianggap sebagai
penjajah baru. Sehingga rakyat Eritrea mulai melakukan perlawanan dan
pemberontakan sejak tahun 1962 hingga akhirnya merdeka melalui referendum pada
tahun 1993.
Sejak itu,
baik Eritrea maupun Ethiopia menjadi masing-masing Negara yang merdeka dan
berdaulat di kawasan Afrika dengan nama State of Eritrea (Eritrea) dan Federal
Democratic Republic of Ethiopia (Ethiopia). Namun, paska kemerdekaan
Eritrea tersebut hubungan kedua Negara memburuk baik dari segi ekonomi,
diplomatik, kependudukan, maupun dari segi kewilayahan. Bahkan, paska
kemerdekaan Eritrea kedua Negara telah membentuk komisi bersama untuk
menentukan status resmi dari wilayah-wilayah di perbatasan kedua Negara yang
menjadi persengketaan utama. Namun, komisi ini gagal untuk menyelesaikan
masalah perbatasan yang disengketakan oleh kedua Negara.
Puncak
ketegangan antara kedua Negara terjadi ketika Eritrea dan Ethiopia terlibat
dalam perang terbuka yang berlangsung sejak tahun 1998. Perang terbuka tersebut
terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan di antara keduanya. Dalam perang
terbuka tersebut, masing-masing pihak mengerahkan ratusan ribu tentara dan
persenjataan-persenjataannya yang paling canggih. Akibat perang ini kedua
Negara kehilangan ratusan ribu nyawa warga negaranya. Hingga akhirnya, perang
terbuka antara Eritrea dan Ethiopia tersebut dapat diakhiri pada tahun 2000.
ANALISIS
KONFLIK DAN PENYEBANYA
Alasan utama dari konflik yang terjadi antara Eritrea
dan Ethiopia adalah karena Ethiopia tidak lagi memiliki perbatasan di sepanjang
Laut Merah dan karena itu bergantung terhadap jasa kapal dan perdagangan barang
sepanjang Laut Merah, terutama bergantung dengan Eritrea. Karena itulah kedua
Negara memperebutkan daerah perbatasan, khususnya dataran Badme, yang strategis
dan bermuara ke Laut Merah sebagai akses transportasi dan perdagangan bagi kedua
Negara.
Konflik di
antara kedua Negara tersebut merupakan konflik yang bersifat spiral. Konflik di
antara kedua Negara tersebut juga termasuk ke dalam kategori interstate war
yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital politik. Dari segi geopolitik,
kedua Negara memperebutkan daerah perbatasan yang bernilai strategis bagi kedua
Negara, terutama wilayah di dataran Badme. Dari segi kapital politk, perebutan
daerah perbatasan tersebut karena daerah perbatasan yang disengketakan bernilai
strategis dan menjadi akses langsung menuju Laut Merah sebagai jalur
transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut Merah inilah yang mereka
butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian kedua Negara.
RESOLUSI
KONFLIK
Jika kita melihat dan memahami proses berjalannya konflik yang sejatinya
telah terjadi paska kemerdekaan Eritrea hingga pecah perang terbuka pada tahun
1998, Konflik antara Eritrea dan Ethiopia ini bersifat spiral. Di mana konflik
antara kedua Negara tersebut mengalami pasang surut. Sejak tahun 1994, upaya
perundingan sudah mulai diupayakan oleh Organisasi Uni Afrika, sebagai pihak
ketiga, namun perdamaian yang dihasilkan dari perundingan tersebut tidak
bertahan lama. Paska gagalnya perundingan tersebut, Eritrea dan Ethiopia
kembali berkonflik. Perundingan yang didorong pada bulan Juni 2000 pun tidak
berhasil menegakkan perdamaian di antara kedua Negara, hingga akhirnya kedua
Negara menandatangani Algiers Agreement pada tanggal 12 Desember
2000. Di mana penandatanganan perjanjian damai ini difasilitasi oleh United
Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE) sebagai pihak ketiga.
Keputusan yang dihasilkan dalam Algiers Agreement sebagai
upaya resolusi konflik perbatasan Eritrea-Ethiopia, sesuai dengan gagasan resolusi
konflik yang diusung oleh Peter Walensteen. Di mana dalam resolusi konflik
harus tercapai kompromi dan kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak yang
bersengketa, adanya perjanjian yang ditandatangani bersama serta adanya
penghormatan terhadap eksistensi Negara masing-masing dan dihentikannya
tindakan kekerasan di antara keduanya. Baik Eritrea dan Ethiopia telah
bersepakat menandatangani Algiers Agreement dan menerima hasil
keputusan bahwa wilayah yang disengketakan di dataran Badme dan sekitarnya
diserahkan kepada Eritrea, pertukaran tawanan dan melepasakan warga sipil yang
ditahan oleh kedua Negara, Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, juga
menyatakan bahwa Ethiopia akan menerima draft rencana perdamaian yang disusun
oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar