Penyelesaian
Konflik Secara Damai
Studi
Kasus Rekonsiliasi dan Resolusi di Aceh
PENDAHULUAN
Provinsi di Ujung Pulau sumatera yang akrab kita sebut sebagai Serambi
Mekah, sudah sejak lama menjadi seperti rumah bagi peluru dan salak senjata.
semenjak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap
melanda negeri serambi mekah tersebut. saking terbiasanya dengan peperangan,
maka rakyat Aceh sering menganggap perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya
sungguhan. Sejarah Aceh terdiri dari lembaran perang, dari satu kancah
pertempuran ke pertempuran lainnya. Dari melawan Portugis, belanda, sampai
dengan melawan saudara sebangsanya sendiri. Di mana mana kalau ada
pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa
ketidak-adilan. Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku. Dan kekecewaaan yang
berkepanjangan pula inilah yang sering hingap di rakyat Aceh, mulai dari kecewa
terhadap penjajahan Belanda, dan kecewa terhadap pemerintahan Indonesia
itu sendiri.
ANALISIS KONFLIK ACEH
Karena kecewa terhadap pemerintah inilah yang membuat Tengku Daud Beureuh
bersama sebagaian rakyat Aceh, memutuskan mengangkat senjata untuk melawan
pemerintah Indonesia pada 21 september 1953. Berbeda dengan pemberontakan
daerah lain di Indonesia, yang mana cepat dapat dipadamkan, perlawanan rakyat
Aceh ini bisa dibilang yang paling lama dan paling bandel. Meski pada akhirnya
daud Beureuh dapat dibujuk untuk turun gunung, setelah segala tuntutannya
dipenuhi, namun kekecewaan kembali hinggap di rakyat Aceh. mereka merasa
sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi sapi perah pusat
saja. hasil bumi yang melimpah diperkirakan hanya 1 persennya saja yang sampai
ke tangan rakyat Aceh.
Hal inilah yang membuat Hasan Tiro dan kawan kawan kembali mengangkat
senjata melalui panji-panji Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada
tanggal 4 Desember 1974. Hal ini membuat Aceh kembali berlumuran dengan darah.
paling sedikit 50 orang tewas setiap harinya selama 30 tahun.
Berbagai
literatur mengenai resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak
hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga
mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. cakupan
resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan
dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM
adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak
namun belum tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh.
Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal
antara “Aceh” dengan “Jakarta”, ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh
sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU
Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk
menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional.
Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang
bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan
konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM
menyebutnya “bangsa Aceh”) dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan.
Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini
sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari
pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.
PENYELESAIAN KONFLIK
Penyelesaian
konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai
berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa),
perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan
struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (situasi anomi).
Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran
serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor
konflik juga telah berubah, bukan antar “siapa” namun bisa meluas menjadi antar
“situasi”. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik
yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi
(fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks,
transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan,
transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah
bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Perubahan kemasyarakatan
dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan
lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan
transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi
antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi
dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah
integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya,
akses politik dan kepastian hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar