Ketika mendengar kata sekolah, mungkin akan sedikit membuat bosan atau malas apalagi ketika didengarkan di hari Senin pagi atau sambil mengingat tugas yang menumpuk ataupun ketika musim ujian dan kita belum tau apapun tentang materi ujiannya. Yah, saya juga belum tertarik untuk membahas ini, karena ini hanya pandangan dari beberapa peserta didik yang malas dan bosan dengan sekolah,atau mungkin saja merasa tidak cocok dengan apa yang ‘disajikan’ di sekolah.
Sekolah, banyak yang menginginkannya banyak pula yang kurang suka. Sedikit cerita pada saat saya duduk di bangku SMA. Tidak semua siswa yang mendaftar dan diterima di sekolah akan keluar pada waktu yang bersamaan, mungkin saja ada yang keluar sebelum tiga tahun atau lebih dari tiga tahun. Alasan yang sangat jelas ketikan anda berada di bangku SMA lebih dari tiga tahun, mungkin saja kurang beruntung pada saat ujian nasional ataupun tidak naik kelas. Tapi apa yang terjadi pada anda yang keluar sebelum tiga tahun dari sekolah. Baiklah, alasan paling sederhana adalah tidak dapat melanjutkan hidup (baca:meninggal dunia), alasan berikutnya adalah tidak mampu membayar iuran semester (bagi yang bersekolah di sekolah yang masih mewajibkan iuran semester atau sekolah swata), dan alasan berikutnya yang sampai sekarang masih mengganjal di pikiranku yaitu malas dan nakal. Tentu saja kita tidak lagi perlu kamus untuk mencari pengertian dari kedua kata ini, malas dan nakal. Malas tentu saja berarti tidak mau melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dalam konteks sekolah artinya tidak mengerjakan tugas, bolos, ataupun jarang masuk sekolah. Sedangkan nakal berarti suatu tindakan atau perilaku yang menyalahi aturan sosial, di sekolah biasanya yang disebut nakal adalah sering melanggar tata tertib yang berlau di sekolah (dan sudah disetujui saat mendaftar). Lalu pertanyaannya adalah mengapa mereka mesti dikeluarkan dari sekolah ?, bukankah seharusnya sekolah yang mengubah mereka ?, atau mereka memang dikeluarkan sebab sekolah hanya ingin mendidik anak baik-baik ?hal ini kemudian menjadi tugas yang sangat mudah ketika kita hanya tinggal menempel kertas tata tertib di jidat mereka (siswa baik-baik), kemudian mengusir sebagian dari mereka (yang nakal dan malas) dan setelah itu mulai mendikte tentang ilmu pengetahuan yang ada di kurikulum, membunyikan bel masuk, istirahat, dan pulang. Sementara mereka dibiarkan melakukan interaksi terhadap sesamanya selama tidak melanggar tata tertib yang ditempel di jidat mereka dan menakut-nakuti bahwa yang melanggar akan bernasib sama dengan mereka (yang malas dan nakal), bahwa masa depan mereka sudah (di)rusak karena melanggar tata tertib.
Sangat jelas ketimpangan yang terjadi antara anak baik-baik dan yang nakal, biasanya anak yang nakal ketika melanggar aturan akan diperhadapkan kepada orang yang lebih ahli (guru bimbingan konseling) saya tidak tau jelas apa tugas pokok dan fungsinya, tetapi terkadang ketika siswa yang nakal telah berhadapan dengan guru ini biasanya menjadi ‘insyaf’. Lalu bagaimana yang tidak mempan dengan ‘jurus guru BK’ ini ?, orangtua mereka tentunya akan diberi peringatan, dan biasanya setelah lebih dari 3 kali maka sanksi terberat yang menimpa mereka adalah dikeluarkan (diberhentikan) dari sekolah atau dipindahkan ke sekolah yang kualitasnya lebih rendah. Misalnya, seorang siswa yang bersekolah di Sekolah Bertaraf Internasional kemudian dipindahkan ke Sekolah dengan akreditasi atau status ‘Disamakan’ karena sering melanggar tata tertib yang berlaku.
Apakah memang seharusnya ini yang terjadi ? tentu kalau menurut saya tidak, sebab sekali lagi, sekolah merupakan tempat pembelajaran formal, yang artinya tempat menjadikan orang yang tidak tau menjadi tau akan suatu hal baik itu kurikulum yang diajarkan di sekolah tersebut maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Proses belajar setiap orang tentunya berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang cenderung lambat. Kali ini saya mencoba mengesampingkan faktor lingkungan luar sekolah yang biasanya menyebabkan seseorang malas atau nakal. Seyogyanya sekolah bertugas mendidik dan mengubah siswanya yang ‘malas dan nakal’ bukan malah semakin merusak mereka dengan kebijakan mengeluarkan/memindahkan siswa yang ‘malas dan nakal’. Lagipula menadapat pendidikan yang layak juga merupakan hak setiap warga negara dan telah diatur dalam Undang-Undang, artinya ketika sekolah mengeluarkan siswa yang ‘nakal dan malas’ entah dengan alasan mengganggu ketertiban, mengganggu proses belajar mengajar, ataupun tindak kriminal sekalipun, apakah dapat saya katakan bahwa pembuat kebijakan tersebut telah melanggar hak orang lain atau melanggar Undang-Undang? Jawabannya bisa saja iya, bisa saja tidak, itu tergantung pandangan anda. Saya juga sedikit ingin berbicara tentang Pendidikan yang Layak, namun bukan pada segi fisiknya seperti sekolah kolong jembatan, sekolah di desa tertinggal, ataupun sekolah dengan fasilitas hotel bintang lima. Akan sedikit kita intip dari segi ‘kasta’, lebih tepatnya atau yang sedang nge-trend sekarang adalah Sekolah Bertaraf Internasional, Sekolah Standar Nasional, Sekolah Percontohan, atau apapun predikat yang menciptakan pengkastaan sekolah-sekolah, hal ini seolah-olah menciptakan pandangan “yang seharusnya” atau ”layak” bagi masyarakat. Setiap orang tua tentunya akan memberikan yang terbaik bagi masa depan anaknya. Seperti kutipan berikut ini “anak adalah harta yang paling berharga melebihi uang, emas, dan wanita” (Michael Corleone-The Godfather 3). Lalu apa yang akan terjadi ketika semua orang ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya? Kali ini saya akan percaya pada kebijakan ‘Pendidikan Gratis’ pemerintah dan menganggap itu benar-benar terjadi. Maka setiap sekolah yang dianggap terbaik (yang memiliki predikat) pada suatu wilayah akan dipenuhi pendaftaran dan tidak mungkin semua pendaftar akan diterima, maka dilakukanlah seleksi (bahkan untuk mendapatkan hak, kita juga mesti diseleksi) dan yang lulus tentunya akan sangat senang bisa mengenyam pendidikan yang “layak”, sementara yang kurang beruntung mau tidak mau harus masuk ke sekolah lain yang kastanya berada dibawah sekolah “favorit” ini. Padahal sekolah ini sama-sama berstatus sekolah negeri. Dan tentunya demi kebaikan negeri ini kedepannya sangat diperlukan pemerataan pendidikan baik secara horizontal maupun vertikal.
Tidak semua orang beruntung dapat bersekolah di sekolah yang memiliki ‘predikat’ berstandar nasional, bertaraf internasional, ataupun percontohan. Justru sebagian besar harus bersyukur karena masih dapat meperoleh ijazah meskipun hanya bersekolah di sekolah berstatus Disamakan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mengekang, mereka hanya butuh perhatian lebih, butuh di didik dengan cara yang berbeda, bukan hukuman yang alih-alih memberi efek jera, namun justru membunuh kreatifitas mereka.
Kembali pada “pengkastaan” sekolah, segala sesuatu yang akan berkembang tentunya akan memulai dari nol. Begitu pula dengan sekolah, menurut yang saya lihat “kasta” ini terbagi atas lima yaitu Sekolah Biasa-biasa saja, Sekolah Percontohan, Sekolah Unggulan, Sekolah Standar Nasional, dan Sekolah Bertaraf Internasional. Entah siapa yang pertama memunculkan julukan bagi sekolah-sekolah ini,tapi beginilah realita di lapangan. Dan perkembangannya pun seperti berikut, anggaplah SMA ABC merupakan sekolah yang telah lama berdiri, berkiprah cukup lama di dunia pendidikan di negeri ini membuat SMA ABC telah berulang kali berganti kurikulum pemberlajaran mulai dari Kurikulum 94, Kurikulum 2004, KTSP 2006, dan entah apa lagi nantinya. Dalam perjalanannya, SMA ABC sudah memiliki laboratorium pembelajaran dan ruang kelas yang lengkap dengan kapasitas sekitar 810an siswa, seiring berkembangnya zaman sekolah ini tentunya tidak ingin ketinggalan dan terus berusaha mengikuti tren sekolah di ibukota, pada awalnya sekolah ini menjadi sekolah percontohan di kabupatennya karena tenaga pengajar yang berkompeten di bidangnya masing-masing serta prestasi berlimpah yang diraih siswanya baik di bidang olahraga maupun akademik. Beberapa tahun kemudian,karena memenuhi kriteria sekolah ini menjadi sekolah unggulan dan tentunya menjadi sekolah favorit di daerahnya, maka setiap tahunajaran baru para orang tua berbondong-bondong mendaftarakan anaknya ke sekolah tersebut, dengan sedikit merogoh kocek untuk uang formulir, mereka berdoa demi kelulusan anaknya di sekolah Unggulan tersebut. tidak begitu pasti apa standar kelulusan agar dapat diterima di sekolah ini, mungkin saja prestasi olahraga, prestasi akademik, nilai ujian tes masuk, jabatan orang tua, kekayaan orang tua, hubungan keluarga dengan pejabat setempat, ataupun rekomendasi beasiswa berprestasi kurang mampu dari sekolah sebelumnya. Akhirnya SMA ABC pun menerima siswa barunya, dari berbagai jenis kalangan, anak orang kaya, anak orang miskin, anak pejabat, anak dari relasi pejabat sekolah, anak preman, dan berbagai jenis lainnya. Sebagai sekolah Unggulan, tentunya SMA ABC menetapkan standar nilai dan kehadiran bagi siswanya, dan juga tata tertib yang ketat. Seluruh siswa diwajibkan memakai seragam yang sama agar tidak menimbulkan perbedaan antara yang kaya dan miskin (tapi masih saja terlihat melalui sepatu, tas, dan peralatan belajar lainnya), potongan rambut harus rapi, tidak boleh memodel pakaian, dan tentunya aturan-aturan lainnya yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi. Seiring berjalannya waktu, siswa yang tidak memenuhi kriteria dalam hal prestasi akademik mulai “disingkirkan”, namun tentunya melalui mekanisme tertentu seperti teguran, hukuman, dan surat “ajaib” untuk orang tua. Mereka yang “disingkirkan” tadi biasanya tidak pandang bulu, siapapun itu, anak orang kaya, pejabat, atau anak siapapun. Dengan dalih akan mempermalukan sekolah bila dipertahankan (bukankah suatu prestasi jika suatu sekolah berhasil mengubah siswa yang tidak baik-baik menjadi baik-baik), tapi sekali lagi demi gengsi, siswa yang tidak baik-baik disingkirkan, entah dipindahkan ke sekolah lain (biasanya sebagai solusi yang diberikan oleh guru kepada orangtua siswa) ataupun dikeluarkan. Akhirnya SMA ABC tinggal berisi robot-robot pelajar yang patuh tata tertib dan rajin sehingga mendapat predikat Sekolah Standar Nasional (tentunya setelah melalui pengawasan dari tim tertentu dalam periode tertentu dan memenuhi kriteria tertentu). Tahun ajaran demi tahun ajaran berlalu, kurikulum pembelajaran silih berganti, prestasi semakin banyak diraih, dan guru-guru yang sudah pensiun berganti dengan guru muda lulusan universitas ternama, paham teknologi, dan dengan metode pembelajaran baru mengisi posisi yang ditinggal guru-guru lama. Atas ambisi sang kepala sekolah dan dorongan dari instansi terkait setempat SMA ABC mulai melirik predikat yang lebih tinggi, yakni Sekolah Bertaraf Internasional (entah apa lagi kriterianya, tapi standar nilai semakin dinaikkan). Seperti biasa pendaftaran tahun ajaran baru membludak, kini tes masuk semakin beragam mulai dari mata pelajaran seperti matematika, bahasa indonesia, sampai tes komputer dan bahasa inggris (untung saja tidak ada tes Psikologi dan TOEFL) dan tentu saja yang lulus hanya yang berprestasi, meskipun ada beberapa yang berhasil masuk “lewat jendela” (biasanya setelah melalui negosiasi panjang dengan penambahan nilai prestasi melalui rupiah). Setelah penerimaan siswa baru juga biasanya diselipkan/disisakan satu atau dua kelas yang biasanya dijuluki “kemitraan”, kelas ini berisi siswa yang biasanya tidak lulus tes reguler dan rela membayar sejumlah mahar, yang tentunya sebelumnya dites lagi dengan standar yang sama namun dengan hasil tes yang tidak terlalu mempengaruhi kelulusan. Biasanya (lagi) agar tidak dikatakan korupsi, pihak sekolah memanfaatkan anggaran yang dibayar siswa “kemitraan” ini dengan melengkkapi fasilitas sekolah seperti AC dan karpet bagi kelas “kemitraan”, perbaikan laboratorium, perbaikan gedung, pengadaan fasilitas LCD bagi kelas ”kemitraan”, pengadaan fasilitas komputer, serta perbaikan dan perawatan infrastruktur sekolah. Pada umumnya siswa “kemitraan” mendapat porsi pelajaran yang sama dengan siswa reguler lainnya, hanya saja sedikit dipermak pada penambahan jadwal les sore sebagai pemantapan mata pelajaran yang sudah dipelajari. Namun kejadian sebelumnya kembali terjadi, siswa yang malas, nakal, dan bandel kembali “disingkirkan” sebab daftar nilai seluruh siswa harus segera diserahkan kepada tim pengawas dan tim penyeleksi Sekolah Bertaraf Internasional. Dan akhirnya SMA ABC mencapai predikat tertinggi (setau saya) sebagai Sekolah Bertaraf Internasional, dimana proses belajar mengajar dilakukan bilingual/dengan bahasa inggris dan indonesia (biasanya kebanyakan menggunakan bahasa indonesia karena siswa yang kebanyakan belum menguasai bahasa inggris dan guru yang masih dalam proses kursus bahasa inggris), sebagian besar siswanya memiliki laptop dan dipersilahkan membawa ke sekolah demi kepentingan belajar karena sekolah memiliki fasilitas wi-fi (terkadang ada yang menyalahgunakan dengan membuka social netwok ataupun situs porno), ruangan kelas dilengkapi dengan kamera pengawas (biasanya hanya digunakan saat ujian, itupun jarang), dan tentunya tidak ada lagi kelas “kemitraan” karena semua fasilitas sudah setara dengan kelas “kemitraan” dulu (meskipun kepala sekolahnya sempat bermasalah karena dianggap memungut iuran terlalu banyak). Tentunya sekolah inilah yang kelak akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas, meskipun sebelumnya harus melalui jalan yang tidak mudah dan tidak sedikit yang mesti dikorbankan (siswa nakal, malas, dan bandel) untuk dapat sampai ke titik ini.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyindir, memprovokasi, ataupun menjelek-jelekkan pihak manapun. Realita yang saya lihat tidak sedikit pun dikurang-kurangi atau dilebih-lebihkan dalam tulisan ini. Dan semoga kita semua sadar dan dapat membedakan yang yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dan terjadi.