Sabtu, 24 September 2011

Sengketa Wilayah Perbatasan Kamboja dan Thailand (Kuil Preah Vihear)



Konflik Sosial : Sengketa Wilayah Perbatasan Kamboja dan Thailand
(Kuil Preah Vihear)

Menurut saya, konflik merupakan suatu fenomena yang terjadi antara dua atau lebih pihak, individu maupun kelompok yang terjadi karena adanya perbedaan persepsi, kepentingan, ideolegi, ras, golongan, budaya atau ciri – ciri lainnya, dimana pihak yang telibat didalamnya ingin mencapai tujuannya sendiri. Konflik dapat berupa pertikaian, kerusuhan, perang maupun perdebatan.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Konflik antara Thailand dan Kamboja merupakan suatu konflik yang tergolong dalam jenis konflik antar satuan nasional (negara) dan merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan dan persepsi, dimana yang menjadi pokok permasalahan merupakan wilayah kedaulatan dan situs bersejarah kuil Prah Vihear, selain itu wilayah tersebut juga kaya akan bahan tambang permata dan batu mulia. Terlihat jelas bahwa mengapa wilayah perbatasan ini diperebutkan, karena disamping dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi, juga dapat dimanfaatkan dari segi pariwisata.
Wilayah Candi Preah Vihear yang terletak di selatan Kamboja dan utara Thailand telah lama menjadi sumber konflik perbatasan wilayah Kamboja – Thailand. Masing-masing negara mengklaim wilayah candi tersebut sebagai bagian dari teritori mereka. Klaim Kamboja didasarkan pada peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand menggunakan peta tahun 1904. Ketika kasus tersebut dibawa ke International Court of Justice (ICJ) pada tahun 1962, pihak Kamboja dinyatakan berhak atas wilayah candi tersebut. Keputusan ini ditolak keras oleh Thailand yang tetap mempertahankan klaimnya. Sejak saat itu konflik perbatasan antara kedua negara berlangsung hingga saat ini. Kontak senjata kembali mengemuka pada tahun 2008 hingga 2009 antara militer Kamboja dan Thailand. Konflik perbatasan Kamboja – Thailand ini tidak hanya mempengaruhi stabilitas politik dalam negeri kedua negara, tapi juga stabilitas regional ASEAN, mengingat Kamboja dan Thailand sama-sama anggota ASEAN.
Seperti yang dilansir www.shvoong.com, menurut Perdana Menteri Thailand, Samak Sundarajev menunjuk kepada penangkapan tiga aktifis Thailand yang secara ilegal menyeberang masuk ke Kamboja. Menurut dia, penangkapan itulah yang memicu konflik. Para aktivis yang terdiri dari seorang lelaki, perempuan dan biksu itu bermaksud memrotes kepemilikan candi Preah Vihar. Candi Preah Vihar yang dibangun oleh suku asli Kamboja, suku Khmer dan 1962 ditetapkan oleh Mahkamah Internasional Den Haag sebagai milik Kamboja. Namun menurut arkeolog Thailand, Srisakra Valibhotama, “sebenarnya Ini bukan tanah siapa-siapa. Tak ada yang memilikinya, wilayah ini bukan milik Kamboja dan bukan pula milik Thailand. Perbatasan antara kedua negara itu dibuat secara sembarangan pada zaman kolonial Perancis. Memang candinya dibuat oleh seorang raja Kamboja, tapi dalam sejarah ini merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat kawasan ini. Orang-orang datang dari mana-mana untuk beribadah dan menghormati para dewa.”
Tanggal 15 Oktober 2008 yang lalu, dunia dikejutkan dengan terjadinya konflik senjata antara militer Kamboja dan Thailand di perbatasan pada daerah dekat Kuil Preah Vihear. Kejadian ini membawa korban dengan tewasnya 2 orang tentara Kamboja dan melukai 5 orang tentara Thailand. ASEAN yang selama ini dianggap sebagai kawasan yang berhasil menjaga perdamaian wilayah melalui Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, ternyata untuk kesekian kalinya diguncang konflik bersenjata antar negara anggota. Ditengah rencana penuntasan ASEAN Charter di Bangkok pada bulan Desember nanti, kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi ASEAN untuk lebih berhati-hati menyelesaikan konflik sengketa perbatasan antar negara.
Sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand di wilayah kuil Preah Vihear sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Kejadian penembakan diatas sebenarnya merupakan akumulasi dari beberapa peristiwa beberapa bulan sebelumnya. Pada tanggal 7 July 2008, Kuil Preah Vihear yang disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk kedalam daftar warisan dunia (World Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO. Langkah ini nampaknya tidak dapat diterima oleh pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh pemerintah Kamboja, militer Thailand sejak tanggal 15 Juli telah memasuki wilayah Kamboja di dekat Kuil. Pada tanggal tanggal 21 Juli aktifitas militer Thailand semakin banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Keo Sikha Kiri Svara Pagoda (Preah Vihear Pagoda).
Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang anggota militer Thailand akibat ranjau darat di daerah sekitar Preah Vihear Pagoda pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa pemerintah Kamboja telah dengan sengaja memasang ranjau didaerah perbatasan yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh pemerintah Kamboja dan beralasan bahwa ranjau-ranjau tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam konflik tiga faksi di Kamboja. Pada akhirnya, konflik bersenjata berdarah pun tidak dapat dielakkan lagi.
Kedua kepala negara sebenarnya telah melakukan upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun Sen tanggal 17 Juli 2008 yang meminta kepada Perdana Menteri Samak Sundaravej untuk segera menarik mundur tentaranya dari daerah sekitar Preah Vihear Pagoda agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam balasannya Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari Thailand-Kamboja General Border Committee (GBC) pada tanggal 21 Juli 2008.
Namun Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area disekitar Preah Vihear Pagoda adalah berada dalam kedaulatan teritorial kerajaan Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand. Selanjutnya Perdana Menteri Hun Sen kembali menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang akan diadakan oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja.
Dari korespondensi diatas nampak bahwa diantara kedua negara masih terdapat ketidak sepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 15 Juni 1962 tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.
Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta (Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis pada tahun 1907 yang beberapa diantaranya adalah anggota Mixed Commission yang dibentuk berdasarkan boundary treaty antara France dan Siam tanggal 13 Pebruari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Kuil Preah Vihear terletak – berada dalam wilayah Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tersebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed Commission yang sah. Lebih lanjut, garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut adalah berdasarkan watershed line yang salah dan bila menggunakan watershed line yang benar maka Kuil Preah Vihear akan terletak di dalam wilayah Thailand.
Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi – namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alasan hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya? Alasannya adalah karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada pemerintah Siam oleh pejabat Perancis, pemerintah Siam telah sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya. Ketiadaan rekasi tersebut menjadikan pemerintah Siam menerima keadaan dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada banyak kesempatan lainnya, pemerintah Thailand telah tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Kuil Preah Vihear.
Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip estoppel, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang masih belum dapat diterima oleh Thailand yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi.
Insiden tembak menembak pada tanggal 15 Oktober 2008 yang lalu sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keengganan Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya – sehingga masalah ini menjadi isu yang selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal 94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand kedalam wilayah Kamboja sebagaimana tertuang dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan (non compliance) terhadap putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan penyelesaian.








Sumber :

Kebijakan With Input


Kebijakan with input
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tantang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34 ayat (3)

Akhir – akhir ini, sedang hangat dibicarakan oleh para pengamat politik tentang pemberian remisi terhadap para narapidana pelaku korupsi, hal ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi sebenarnya sudah lama dilakukan, namun kali ini kembali disoroti karena maraknya kasus korupsi yang terjadi akhir – akhir ini, dan ketidakjelasan tindak lanjut yang cenderung lambat dan bertele – tele membuat beberapa pihak merasa gerah terhadap kebijakan pemerintah tentang pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi.
            Mungkin saja dalam pandangan orang awam terhadap fenomena ini, akan lebih mengarah pada lama hukuman yang didapatkan oleh para koruptor yang tidak sebanding dengan uang rakyat yang mereka habiskan untuk kepentingan pribadi dan golongan, penanganan yang lamban, fasilitas yang mereka dapatkan di lembaga pemasyarakatan, lalu dengan seenaknya mengatasnamakan undang – undang hukuman mereka yang memang sudah sedikt malah dipangkas lagi dengan alasan hari raya atau hari kemerdekaan. Padahal mereka secara tidak langsung sudah memiskinkan banyak orang, mengambil hak orang lain dan membodohi orang – orang yang seharusnya menikmati haknya.
            Pada kesempatan kali ini, kita akan menganalisis tentang kebijakan yang dibuat pemerintah pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tantang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34 ayat (3) yang berbunyi : Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
            Menurut pandangan saya, kebijakan ini merupakan sebuah kebijakan withinput, dimana muncul tuntutan dari perbedaan kepentingan dan ketidakpuasan dari anggota system politik, yang memiliki efek langsung terhadap system politik itu sendiri. Sederhanya, mungkin saja terdapat beberapa anggota system politik yang pada awalnya ingin berbuat curang dalam pelaksanaan pemerintahan yang mendukung adanya peringanan hukuman bagi narapidana kasus korupsi, dengan dalih keadilan sosial dan menyesuaikan dengan dinamika yang terjadi sekarang.
            Meskipun telah dijelaskan dalam penjelasan umum atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 bahwa : Di tengah-tengah kehidupan asyarakat dewasa ini telah berkembang berbagai jenis kejahatan serius dan luar biasa serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau menimbulkan korban jiwa yang banyak dan harta benda serta menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya perlu disesuaikan dengan dinamika dan rasa keadilan masyarakat.
Padahal hal ini justru mencederai rasa keadilan bagi masyarakat, seperti yang dikatakan Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) saat dilansir oleh monitorindonesia.com mengatakan bahwa “Pemberian remisi kepada pelaku kejahatan tindak pidana korupsi tidak akan memberi efek jera. Apalagi, selama ini hukuman yang jatuh kepada mereka cenderung ringan,” Ia menyebutkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) paling lama menjatuhkan vonis tiga tahun bagi terpidana koruptor.  Sebelumnya diberitakan, sebanyak 427 narapidana kasus tindak pidana korupsi menerima remisi atau pengurangan masa tahanan terkait dengan Hari Ulang Tahun Ke-66 Kemerdekaan RI.
            Kebijakan yang seperti ini telh menjadi “buah simalakama” ketika akan ditimjau ulang kembali, sebab Pemberian remisi kepada terpidana tanpa melihat kasus yang menjeratnya, menimbulkan kecaman karena remisi ini juga diberlakukan kepada terpidana kasus korupsi dan terorisme. Namun jika melihat keluhan dari terpidana kasus korupsi yang merasa dirinya diperlakukan berbeda dengan terpidana lainnya.
            Tuntutan eksternal juga mempengaruhi kebijakan ini, dimana system budaya sangat beperan. Orang Indonesia cenderung berpikir bahwa budaya korupsi akan semakin menjamur ketika para terpidana korupsi diberikan remisi yang justru mengurangi efek jera mereka. Namun disatu sisi, sistem sosial juga berpengaruh ketika para narapidana pelaku korupsi malah diperlakukan berbeda dengan narapidana kasus lainnya.
            Kedua tuntutan eksternal ini tidak hanya berpengaruh pada pembuatan kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, namun juga akan sangat berpengaruh pada ditinjau ulangnya kebijakan ini. Tentunya pemerintah dapat tetap netral namun berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia jika memang kebijakan tersebut akan direvisi nantinya. Suatu kebijakan, merupakan hasil dari suatu proses kebijaksanaan, dimana pemerintah sebagai pihak yang berperan sebagai pembuat kebijakan sekali lagi harus bersifat netral dan berpihak pada rakyat.




Sumber :
Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 61